Kamis, 21 Oktober 2010

Maaf, Kalimat Singkat, Tapi Mahal..

Maaf, sebuah kalimat yang sangat pendek tetapi mahal, bahkan cenderung langka, karena sukarnya untuk mendapatkan, ataupun memberikannya. Dalam kehidupan sosial sehari-hari, sebenarnya banyak sekali memerlukan kalimat tersebut. Namun karena arogansi dan cenderung menonjolkan egonya, seseorang lebih memilih Jalur Hukum, ketimbang harus meminta maaf, ataupun memberi maaf. Padahal, “budaya” jalur hukum lebih banyak digunakan oleh Masyarakat Barat, sementara kita yang sebagai ‘Orang Timur’, seharusnya lebih menghidupkan Budaya Meminta Maaf, Memberi Maaf, serta mengucapkan Terimakasih. Kalimat dan perbuatan sepele seperti itu, rasanya seringkali kita abaikan, seperti halnya saya sendiri, yang kadang mengabaikannya…


Menurut saya, efek kata-kata maaf dan terima kasih cukup besar. Seseorang yang mengatakan maaf akan terus dilatih untuk rendah hati, dan selalu introspeksi. Sedangkan dari kata-kata terima kasih akan muncul rasa menghargai orang lain sekecil apapun. Akan terwujud hubungan yang harmonis, saling menghargai dan menghormati hak dan kewajiban orang lain. Karena saling menghargai ini mungkin kita akan jauh lebih berhati-hati dalam berkendaraan di jalan. Kita tidak akan parkir mobil sembarangan karena bisa jadi membuat tidak nyaman pengguna jalan lainnya. Kita akan lebih patuh menataati peraturan, karena bila tidak, kita khawatir akan merugikan orang lain. Kita tidak lagi membuang sampah sembarangan karena lingkunga akan menjadi kotor karenanya. Kita akan suka rela antri dengan tertib, dst.

Menjelang akhir bulan Juli lalu, saya sempat terperangah dengan Judul Berita di beberapa media massa, baik cetak maupun online, yang berbunyi “Gubernur Jateng Minta Maaf….” , terkait belum selesainya beberapa pekerjaan jalan menjelang lebaran. Bila memperhatikan urgensi selesainya pekerjaan jalan tepat pada waktunya, memang sangat besar. Karena menyangkut hajat orang banyak yang secara hamper bersamaan menggunakannya sebagai sarana tradisi mudik dan silaturrahim di hari lebaran. Karena itu, bisa dimaklumi bila nantinya akan banyak masyarakat yang akan kecewa, karena terjebak kemacetan karena penyempitan jalan, akibat sedang dalam perbaikan. Karena itu pula, wajar saja, bila Permintaan Maaf Gubernur tersebut dianggap wajar. Yang menjadi Tidak Wajar kemudian menurut saya adalah, karena selama ini kita jarang mendengar Permintaan Maaf dari seorang Pemimpin, ataupun pejabat yang melakukan kesalahan, apalagi kesalahan tersebut bukan merupakan kesalahannya secara langsung.

Bila kita tengok ke belakang, sudah berapa Kepala Daerah, Bupati/Walikota di Jawa Tengah yang melakukan kesalahan, ataupun ‘gagal’ memimpin daerahnya menjadi lebih maju, serta berapa banyak Kepala SKPD yang tidak sukses memanage dinas instansinya…? Namun berapa banyakkah dari sekian kesalahan itu ada yang meminta maaf…? Saya kok belum pernah mendengarnya, ya…? Karena itu, dalam kesempatan ini, secara pribadi saya memberikan Apresiasi pada H. Bibit Waluyo, Gubernur Jawa Tengah, yang secara Ksatria berani mengucapkan Permintaan Maaf, meskipun kesalahannya tidak secara langsung merupakan tanggungjawabnya.

Sebagai Gubernur yang berasal dari kalangan militer dan berpangkat Jenderal, wajar saja bila di awal pemerintahannya masih bergaya militant, karena kebiasaanya membangun disiplin yang tinggi. Dan meskipun Jawa Tengah sudah terbiasa dinahkodai pemimpin yang berasal dari militer, namun karena Visi dan Misi yang berbeda dari sebelumnya, membuat kalangan birokrat juga sempat tidak siap. Kini, gaya dan model militer tersebut sudah mulai membaur, akibat dampak visi misi yang diusungnya pula, yaitu Bali nDesa Bangun Desa, yang mengandung konsekwensi pula, bahwa meskipun seorang jenderal, tapi dirinya adalah ‘wong ndesa’, demikian sebaliknya, meskipun dirinya adalah orang desa, tetapi sebagai jenderal, harus bisa membangun dengan pola tepat guna dan sasaran.

Pada tanggal 23 Agustus 2010, adalah tepat dua tahun Kepemimpinan Bibit Waluyo – Rustriningsih sebagai Gubernur dan wakil Gubernur Jawa Tengah. Masih terlalu dini, untuk mengatakan bahwa kepemimpinannya gagal, ataupun berhasil dengan program serta visi misi yang diusungnya. Namun setidaknya, irama yang dibawakan berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dan harus diakui pula, sedikit banyak telah terjadi perbaikan disana-sini. Meskipun masih tersisa lebih dari separuh waktu kepemimpinan, rasanya tidak ada salahnya bila kembali saling mengingatkan, bahwa masih terlalu banyak warga desa yang memerlukan sentuhan, masih banyak desa yang harus dibangun, masih banyak sekali warga Jawa Tengah yang kesulitan, bahkan kadang teraniaya…

Kembali pada Permintaan Maaf Gubernur Jawa Tengah, alangkah indahnya bila hal tersebut dijadikan moment kebangkitan budaya yang luhur yang perlu dicontoh oleh Kepala Daerah se Jawa Tengah, serta seluruh Kepala SKPD. Alangkah eloknya, bila Kepala SKPD yang notabene adalah “Komandan” pada Satuan Kerja, bersikap Ksatria dan mau Minta Maaf, tidak melempar kesalahan Kesatuannya sebagai kesalahan Anak Buahnya, serta tidak membuat-buat pembelaan untuk mempertahankan konditenya, dan yang paling penting, tidak membuat laporan Asal Bapak Senang…***gus_bs
Read More..

Rabu, 20 Oktober 2010

Kompensasi SUTET, Berapa Sepatutnya...?



    Yang namanya Kejujuran, dari dulu masih aja susah utuk melihatnya, sebab untuk mengetahuinya, harus menggunakan Mata Hati…


Berbicara soal SUTET, maka akan banyak ditemui pembicaraan yang Tidak Jujur…
“Lalu kenapa harus dibicarakan, kalau ternyata isi pembicaraannya banyak ketidak jujuran…?”
Sebab tiap orang punya Hak untuk berbicara, jujur atau tidaknya yang mereka bicarakan, biarlah hati mereka masing-masing yang akan mengatakannya….
Berbicara soal Pertentangan di masyarakat mengenai SUTET, bila diperkecil ruang lingkupnya, maka akan berujung pada Aspek Sosial. Disinilah awal ketidak jujuran dimulai, sebab kalimat ketidak jujuran, lebih condong mengarah pada poin nominal, baik nominal pada tingkat keamanan, maupun pure nominal kompensasi yang mestinya didapat oleh para warga yang dilintasi Jaringan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 kV, dan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 150 kV.


KEAMANAN
Kalimat yang sering menghantui dalam pembicaraan mengenai SUTET/SUTT adalah BAHAYA, Tinggal Dibawah Jaringan. Hal tersebut terkait dengan ‘Radiasi’ yang dipancarkan dari Medan Listrik dan Medan Magnet akibat energi yang mengalir pada kawat jaringan listrik jarak jauh tersebut. Kalimat BAHAYA, juga serng dituliskan oleh PLN sendiri, pada tiang-tiang listrik distribusi, dan gardu kontrol penyaluran, hal tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari bahaya sengatan arus listrik. Akibat dari seringnya menjumpai tulisan BAHAYA pada tiang liang listrik, maka masyarakat makin takut dengan sosok tower SUTET/SUTT berikut bentangan kawat salurannya.
Lalu bagaimanakah tingkat keamanan yang sebenarnya untuk tinggal dibawah jaringan SUTET ?
Karena belum ada Lembaga Independen yang penelitiannya diakui secara universal, maka acuan yang digunakan adalah “Pernyataan Pemerintah”, yaitu : AMAN DENGAN BATAS-BATAS TERTENTU.
Artinya, antara kawat jaringan dengan ruang di sekitarnya, ada RUANG BEBAS (Ruang Bahaya), yang harus terbebas dari berbagai macam benda-benda yang tidak diperlukan untuk jaringan. Dan sisa dari Ruang Bebas itu, adalah Ruang Aman yang bisa dihuni dan untuk beraktifitas manusia…
Sedangkan dampak kesehatan yang nyata bagi masyarakat yang tinggal dibawah jaringan SUTET, adalah gangguan phsikis akibat bunyi dengungan (Corona) dari kawat jaringan yang tertiup angin di malam hari, ditambah lagi rasa was-was terhadap kekhawatiran bila kawat tersebut suatu saat putus, ataupun tower roboh, dan menimpa rumah mereka. Dan kekhawatiran tersebut bukanlah hal yang mustahil…

KOMPENSASI
Terhadap Tanaman yang mengganggu lintasan jaringan dan tanaman yang suatu saat berpotensi mengganggu jaringan, PLN harus membeli/membebaskan tanaman tersebut untuk ditebang. Demikian halnya dengan rumah/bangunan yang terlalu tinggi (masuk Ruang Bebas), serta tanah yang akan ditempati untuk Tapak Tower, PLN harus membebaskannya, dan memberikan Ganti Rugi. Disini tentunya berlaku Hukum Jual Beli…
Namun terhadap tanah dan bangunan yang dilintasi jaringan, tetapi tidak mengganggu jaringan, PLN hanya memberikan Kompensasi yang diatur dalam Keputusan Mentamben Nomor 975 Tahun 1999. Yang selalu menjadi persoalan, dalam Keputusan Mentamben tersebut, nilai kompensasi yang diberikan, maksimal Sepulu Persen dari Nilai Jual Obyek Pajak (10% X NJOP). Dan belakangan, aturan tersebut dinilai sebagai Keputusan Yang Tidak Manusiawi…!
Penilaian Tidak Manusiawi tersebut, salah satunya dikarenakan NJOP yang tertera pada Pajak Bumi Dan Bangunan di daerah, banyak yang jauh dibawah realita Harga Pasar. Ada warga yang NJOP tanahnya dibawah Rp 10.000,- tetapi harga pasaran sebenarnya bisa mencapai 40-50 ribu. Selain itu, penilaian Tidak Manusiawi, juga diarahkan pada nominal persentasenya sendiri, yang hanya 10 persen.
PT PLN (Persero) sendiri, sebenarnya “mengakui” bahwa nilai kompensasi sebesar aturan yang ada, adalah Tidak Manusiawi. Karena itu PLN sendiri praktis tidak pernah menerapkan pemberian kompensasi sebesar itu. Aturan tersebut selama ini hanya digunakan sebagai “Pembuka Harga Penawaran”, sedangkan realisasinya tergantung negosiasi yang tercapai. Ada yang mendapat kompensasi Rp 6500/m2, 7500/m2, 15.00/m2, 20.000/m2, 45.000/m2, 65.000/m2, dan sebagainya. Dari harga-harga tersebut, yang sering menjadi gejolak di masyarakat adalah Kecemburuan. Mereka beranggapan, bahwa nilai tanahnya antara satu dengan lainnya cenderung sama, berada pada daerah yang sama, karenanya mereka minta persamaan harga kompensasi…
Kembali pada nilai persentase yang hanya sebesar sepuluh persen tersebut, baik dari NJOP maupun harga pasar, sebenarnya memang tidak memadai. Sebab secara perspektif, warga telah kehilangan Hak Atas Tanahnya ditambah Hak Privacynya, menjadi lebih dari sepuluh persen. Hal tersebut dikarenakan warga tidak bisa mendirikan bangunan berlantai tiga, warga tidak lagi boleh menanam tanaman kayu yang berpotensi tumbuh tinggi, warga selalu terganggu dengan Bunyi Corona, serta rasa was-was sepanjang waktu…

BERAPA ?
Bila kompensasi sebesar sepuluh persen dinilai Tidak Manusiawi, lalu berapakah nilai sepatutnya…? Jawabannya tentu tergantung kesepakatan dengan warga, sambil menunggu kepekaan para pengambil kebijakan untuk merumuskan kembali besaran nilai kompensasi.
Dalam suatu negosiasi dengan warga untuk menetapkan besaran kompensasi, pihak PLN sering menggunakan argumentasi Takut Melanggar Aturan, Bila Harus Memberikan Lebih. “Kalau aturannya ada, kami pasti mau membayar tuntutan warga”, demikian kurang lebih argumentasi yang diungkapkan oleh pihak PLN.
Lalu masyarakatpun bertanya :

   1. Bagaimana caranya menegosiasikan aturan, sehingga bisa tercipta nilai-nilai kompensasi yang berjenjang pada suatu wilayah…?

   2. Berapa anggaran kompensasi untuk masing-masing Proyek Jaringan…? Bukankah tiap item pekerjaan pada suatu proyek ada nominalnya…? Bukankah volume pekerjaan sudah dapat dhitung dari bentangan jaringan…?

   3. Tidakkah ini bagian dari Kebebasan Informasi Publik…?

Read More..

Selasa, 19 Oktober 2010

Anggaran Perbaikan Jalan di Jateng Kecil, Jangan Digerogoti...

Papan Informasi Proyek Jalan Ronggowarsito Semarang Mencla-Mencle, alias Plin Plan...
Menurut 'berita' dan beberapa pengamatan, sekitar 1016 KM, atau sekitar 40 persen dari total jalan Provinsi Jawa Tengah sepanjang 2.540 kilometer, kondisinya rusak parah. Selain faktor kondisi alam, penyebab lain kerusakan jalan itu adalah keterbatasan biaya pemeliharaan dan peningkatan jalan yang hanya Rp 320 miliar per tahun. Minimnya anggaran yang tersedia, bila tidak dikelola dengan baik, maka dana yang tersedia tersebut akan terbelanjakan dengan sia-sia.

                Dari beberapa pengamatan, ada kalanya jalan yang baru diperbaiki beberapa waktu, hanya karena diterpa beberapa kali hujan saja sudah rusak kembali. Kejadian tersebut lebih sering terjadi pada jalan yang mendapat pemeliharaan berupa penambalan lubang, dan areanya hanya beberapa meter. Bila banyak kejadian seperti itu, maka akan banyak pula anggaran dibelanjakan dengan sia-sia, karena diterpa hujan.
                Adanya jalan yang baru selesai diperbaiki, lalu kemudian rusak kembali, bukan saja dikarenakan minimnya anggaran. Namun juga ada kontribusi dari “Human Error”, lalainya atau kurangnya pengawasan, dan kurangnya perencanaan yang matang. Kurangnya pengawasan dari instansi yang bertanggungjawab, bisa saja dimaklumi, karena mungkin keterbatasan personil yang ada. Namun bila hal tersebut telah direncanakan dengan baik, maka kekurangan personil bisa tidak tepat untuk dijadikan argumentasi lolosnya pengerjaan yang nakal.

                Untuk mengantisipasi adanya pengerjaan proyek yang tidak sesuai specs, sebenarnya bisa ditanggulangi dengan menghidupkan Partisipasi Masyarakat dan keterbukaan informasi, dan tentu saja hal tersebut hanya bisa terlaksana, bila semua pihak memiliki tekad “Niat Ingsun mBangun Jawa Tengah”, bukan niat ingsun mengharap orang lengah…
                Belakangan ini, animo masyarakat untuk berpartisipasi dalam melakukan pengawasan cukup besar. Namun, bila masyarakat tidak memiliki bekal informasi, apa yang harus diawasi ? Seharusnya, bila semua berkomitment untuk 'Clean', tentunya tidak akan keberatan untuk membuka kran informasi. Tiap instansi idealnya memiliki Ruang Publik, dimana masyarakat bisa dengan mudah mendapatkan informasi seputar kegitan dan Tupoksi instansi tersebut. Terlebih bila instansi tersebut memiliki proyek, sedapat mungkin masyarakat bisa mengetahui tentang lokasi proyek, volume pekerjaan, dan jumlah anggaran yang digunakan. Demikian hal dengan di lokasi proyek, dimana sesuai ketentuan, harus dipasang Papan Informasi yang dapat memberikan ilustrasi singkat tentang kuantitas pekerjaan, waktu pelaksanaan, dan anggaran yang digunakan. Apakah hal tersebut (Keterbukaan Informasi) terlalu berat untuk dilaksanakan ? Kalau begitu, jangan berharap Jawa Tengah bisa mewujudkan Clean Governance…
                Penerapan fungsi-fungsi manajememen yang terdiri dari Planning, Organizing, Actuating, and Controlling atau POAC sangat diperlukan dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Fungsi pengawasan yang merupakan salah satu bagian dari POAC perlu diperkuat dan ditata dengan baik guna mendukung berjalannya fungsi-fungsi yang lain. Tidak adanya Bidang Perencanaan pada SKPD Teknis, mengandung konsekwensi bahwa Kepala Dinas ataupun Kepala Badan, bertanggungjawab langsung terhadap system perencanaan pada instansinya. Dengan demikian, kegagalan suatu pekerjaan yang dikelola sebuah instansi, adalah tanggungjawab penuh Kepala SKPDnya. Maka wajar saja, bila Gubernur, Bupati/Walikota, segera mencopot jabatan Kepala Dinas yang dianggap gagal.
                Akibat kurang berjalannya system Perencanaan dan implementasi POAC pada SKPD di Jawa Tengah, sudah mulai dapat dirasakan akibatnya. Beberapa Program strategis telah mengalami kegagalan, diantaranya adalah Pemberantasan Buta Aksara, Perbaikan Jalan Tidak Selesai Sebelum Lebaran, serta molornya jadwal penyelesaian Pembangunan Jalan Tol Semarang  Solo plus membengkaknya pembiayaan, serta kacaunya pelaksanaan pembayaran Pembebasan Lahan yang berakibat merugikan masyarakat yang tanahnya tergusur.
                Untuk itu, guna menghindari terjadinya kegagalan demi kegagalan yang berakibat Mubazirnya Anggaran yang digunakan, yang sama saja dengan menggerogoti APBD yang notabene adalah Uang Rakyat, ada baiknya tiap SKPD kembali melakukan Tata Kelola System Perencanaan dan Pengawasan. Selain itu, agar bersikap lebih 'Wellcome' terhadap Keterbukaan Informasi Publik. Bila tidak ada personil untuk menerima kunjungan tamu pencari informasi, publish saja informasi yang diperlukan masyarakat pada website. Bila tidak mempunyai website ? Ya bikin, lah… Jangan sanpai Daerah lain mengatakan SKPD di Jateng masih banyak yang Katrok, karena tidak familiar dengan media internet yang saat ini tengah digalakkan penggunaannya dengan ‘program’ Internet Sehat…
***gus_bs
Read More..
offsetWidth); }