Rabu, 20 Oktober 2010

Kompensasi SUTET, Berapa Sepatutnya...?



    Yang namanya Kejujuran, dari dulu masih aja susah utuk melihatnya, sebab untuk mengetahuinya, harus menggunakan Mata Hati…


Berbicara soal SUTET, maka akan banyak ditemui pembicaraan yang Tidak Jujur…
“Lalu kenapa harus dibicarakan, kalau ternyata isi pembicaraannya banyak ketidak jujuran…?”
Sebab tiap orang punya Hak untuk berbicara, jujur atau tidaknya yang mereka bicarakan, biarlah hati mereka masing-masing yang akan mengatakannya….
Berbicara soal Pertentangan di masyarakat mengenai SUTET, bila diperkecil ruang lingkupnya, maka akan berujung pada Aspek Sosial. Disinilah awal ketidak jujuran dimulai, sebab kalimat ketidak jujuran, lebih condong mengarah pada poin nominal, baik nominal pada tingkat keamanan, maupun pure nominal kompensasi yang mestinya didapat oleh para warga yang dilintasi Jaringan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi (SUTET) 500 kV, dan Saluran Udara Tegangan Tinggi (SUTT) 150 kV.


KEAMANAN
Kalimat yang sering menghantui dalam pembicaraan mengenai SUTET/SUTT adalah BAHAYA, Tinggal Dibawah Jaringan. Hal tersebut terkait dengan ‘Radiasi’ yang dipancarkan dari Medan Listrik dan Medan Magnet akibat energi yang mengalir pada kawat jaringan listrik jarak jauh tersebut. Kalimat BAHAYA, juga serng dituliskan oleh PLN sendiri, pada tiang-tiang listrik distribusi, dan gardu kontrol penyaluran, hal tersebut dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari bahaya sengatan arus listrik. Akibat dari seringnya menjumpai tulisan BAHAYA pada tiang liang listrik, maka masyarakat makin takut dengan sosok tower SUTET/SUTT berikut bentangan kawat salurannya.
Lalu bagaimanakah tingkat keamanan yang sebenarnya untuk tinggal dibawah jaringan SUTET ?
Karena belum ada Lembaga Independen yang penelitiannya diakui secara universal, maka acuan yang digunakan adalah “Pernyataan Pemerintah”, yaitu : AMAN DENGAN BATAS-BATAS TERTENTU.
Artinya, antara kawat jaringan dengan ruang di sekitarnya, ada RUANG BEBAS (Ruang Bahaya), yang harus terbebas dari berbagai macam benda-benda yang tidak diperlukan untuk jaringan. Dan sisa dari Ruang Bebas itu, adalah Ruang Aman yang bisa dihuni dan untuk beraktifitas manusia…
Sedangkan dampak kesehatan yang nyata bagi masyarakat yang tinggal dibawah jaringan SUTET, adalah gangguan phsikis akibat bunyi dengungan (Corona) dari kawat jaringan yang tertiup angin di malam hari, ditambah lagi rasa was-was terhadap kekhawatiran bila kawat tersebut suatu saat putus, ataupun tower roboh, dan menimpa rumah mereka. Dan kekhawatiran tersebut bukanlah hal yang mustahil…

KOMPENSASI
Terhadap Tanaman yang mengganggu lintasan jaringan dan tanaman yang suatu saat berpotensi mengganggu jaringan, PLN harus membeli/membebaskan tanaman tersebut untuk ditebang. Demikian halnya dengan rumah/bangunan yang terlalu tinggi (masuk Ruang Bebas), serta tanah yang akan ditempati untuk Tapak Tower, PLN harus membebaskannya, dan memberikan Ganti Rugi. Disini tentunya berlaku Hukum Jual Beli…
Namun terhadap tanah dan bangunan yang dilintasi jaringan, tetapi tidak mengganggu jaringan, PLN hanya memberikan Kompensasi yang diatur dalam Keputusan Mentamben Nomor 975 Tahun 1999. Yang selalu menjadi persoalan, dalam Keputusan Mentamben tersebut, nilai kompensasi yang diberikan, maksimal Sepulu Persen dari Nilai Jual Obyek Pajak (10% X NJOP). Dan belakangan, aturan tersebut dinilai sebagai Keputusan Yang Tidak Manusiawi…!
Penilaian Tidak Manusiawi tersebut, salah satunya dikarenakan NJOP yang tertera pada Pajak Bumi Dan Bangunan di daerah, banyak yang jauh dibawah realita Harga Pasar. Ada warga yang NJOP tanahnya dibawah Rp 10.000,- tetapi harga pasaran sebenarnya bisa mencapai 40-50 ribu. Selain itu, penilaian Tidak Manusiawi, juga diarahkan pada nominal persentasenya sendiri, yang hanya 10 persen.
PT PLN (Persero) sendiri, sebenarnya “mengakui” bahwa nilai kompensasi sebesar aturan yang ada, adalah Tidak Manusiawi. Karena itu PLN sendiri praktis tidak pernah menerapkan pemberian kompensasi sebesar itu. Aturan tersebut selama ini hanya digunakan sebagai “Pembuka Harga Penawaran”, sedangkan realisasinya tergantung negosiasi yang tercapai. Ada yang mendapat kompensasi Rp 6500/m2, 7500/m2, 15.00/m2, 20.000/m2, 45.000/m2, 65.000/m2, dan sebagainya. Dari harga-harga tersebut, yang sering menjadi gejolak di masyarakat adalah Kecemburuan. Mereka beranggapan, bahwa nilai tanahnya antara satu dengan lainnya cenderung sama, berada pada daerah yang sama, karenanya mereka minta persamaan harga kompensasi…
Kembali pada nilai persentase yang hanya sebesar sepuluh persen tersebut, baik dari NJOP maupun harga pasar, sebenarnya memang tidak memadai. Sebab secara perspektif, warga telah kehilangan Hak Atas Tanahnya ditambah Hak Privacynya, menjadi lebih dari sepuluh persen. Hal tersebut dikarenakan warga tidak bisa mendirikan bangunan berlantai tiga, warga tidak lagi boleh menanam tanaman kayu yang berpotensi tumbuh tinggi, warga selalu terganggu dengan Bunyi Corona, serta rasa was-was sepanjang waktu…

BERAPA ?
Bila kompensasi sebesar sepuluh persen dinilai Tidak Manusiawi, lalu berapakah nilai sepatutnya…? Jawabannya tentu tergantung kesepakatan dengan warga, sambil menunggu kepekaan para pengambil kebijakan untuk merumuskan kembali besaran nilai kompensasi.
Dalam suatu negosiasi dengan warga untuk menetapkan besaran kompensasi, pihak PLN sering menggunakan argumentasi Takut Melanggar Aturan, Bila Harus Memberikan Lebih. “Kalau aturannya ada, kami pasti mau membayar tuntutan warga”, demikian kurang lebih argumentasi yang diungkapkan oleh pihak PLN.
Lalu masyarakatpun bertanya :

   1. Bagaimana caranya menegosiasikan aturan, sehingga bisa tercipta nilai-nilai kompensasi yang berjenjang pada suatu wilayah…?

   2. Berapa anggaran kompensasi untuk masing-masing Proyek Jaringan…? Bukankah tiap item pekerjaan pada suatu proyek ada nominalnya…? Bukankah volume pekerjaan sudah dapat dhitung dari bentangan jaringan…?

   3. Tidakkah ini bagian dari Kebebasan Informasi Publik…?

1 komentar:

offsetWidth); }